(ehm… dah lama ga’ posting.. padahal dah dijadwalin..)
Paradigma yang harus diperbaiki
Kesalahan utama dari sistem pendidikan di Indonesia adalah menempatkan sekolah sebagai satu-satunya corong dan gerbong pendidikan. Sehingga masyarakat dalam tiap waktunya selalu menuntut sekolah dengan harapan besar anak-anak dapat berkembang baik segi pengetahuan kognitif dan segi integritas kepribadiannya. Orang tua berharap bahwa anak-anak diajari untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya secara baik bersama-sama dengan rekan-rekan yang lain. Selain itu mereka juga berharap agar anak-anak ini dilatih untuk bekerja keras, menghargai orang lain, bertindak jujur dan bertanggung jawab sehingga mereka akan siap mandiri dan menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab. Demikian besar harapan masyarakat akan peran dan fungsi sekolah sebagai tempat untuk mendidik dan mengembangkan generasi muda tumpuan harapan mereka. Itu merupakan paradigma yang salah dan secepatnya untuk diperbaiki. Karena, kalau terus-terusan seperti ini akan mengakibatkan tidak kreatifnya sistem pendidikan di Indonesia.
Paradigma ini berkembang karena infiltrasi dari budaya yang berkembang di masyarakat, yang mungkin saja sulit untuk dibendung, karena sedemikian pekatnya. Yaitu budaya yang mengatakan kalau ga’ sekolah ga’ akan sukses. Ga’ akan dapat kerja. Ga’ akan dapat hidup enak. Padahal itu bukanlah ukuran dari sebuah kesuksesan seseorang. Tetap aja ada orang yang tidak sekolah atau berhenti ditengah jalan, namun tetap bisa meraih sukses yang ia inginkan. Kita bisa lihat seperti Bob Sadino. Bahkan kalau ga’ salah saya pernah baca, ada pengusaha yang mengatakan bahwa kalau mau sukses ga’ usah sekolah tinggi-tinggi. Saya pribadi tidak terlalu sepakat akan hal ini, bahkan sangat tidak sepakat. Karena prinsipnya adalah “ilmu diatas amal” belajar dulu atau cari ilmu dulu baru kemudian mengerjakan sesuatu… tapi perlu diinget juga.. jangan nunggu ilmu banyak dulu baru kerjain amal, walaupun Cuma punya ilmu sedikit, langsung aja dikerjakan. Itu lebih baik… karena disana ada tantangan sehingga kita harus cari ilmunya untuk menghadapi tantangan itu… lama-kelamaan tidak adanya lagi disintegrasi antara teori dan praktek… tapi bukan ini yang sebenarnya yang ingin ku sampaikan.
Intinya tampat belajar itu banyak dan sarana yang mendukung juga banyak. Seharusnya peran orang tua disini harus lebih aktif mencarikan sarana pembelajaran yang berkualitas bagi anak. Semisal Out Bond, yang mengajarkan berani menghadapi tantangan dan kesabaran. Kursus keahlian tertentu, semisal kursus biola, gitar, drum, nulis, bahasa asing, melukis, dan lain-lain. Tapi yang perlu diingat adalah anak harus enjoy melaksanannya. Jangan seperti film Garuda di Dadaku, yang kakeknya begitu memaksakan kehendaknya, padahal si cucu tidak enjoy melakukannya. Yang penting focus…. Begitu juga untuk anak, ia juga harus kreatif mencari arena pembelajaran yang boleh dibilang banyak ya… semisal ikut forum kepenulisan, yang mana dia bisa belajar nulis.. sehingga membuat ia ahli dalam menulis. Dan juga diingat untuk memilih dan memilah mana arena yang sesuai syari’at mana yang tidak, jangan sampai terjerumus ke pemahaman yang salah.
Nah, jangan lupa juga pendidikan agama kudu dibenerin juga.. soalnya inilah yang akan membawa keberseimbangan antara dunia dan akhirat, sehingga tidak adanya sekulerisasi kehidupan, yaitu memisahkan agama dan kehidupan (ilmu, social, politik, hankam, budaya, pendidikan, dan semua aspek kehidupan). Ilmu tanpa agama merupakan bencana, agama tanpa ilmu membawa kehinaan. Yang perlu diinget juga, jangan hanya teori doank yang dipelajarin, semisal teori tentang sholat, tapi dienya ga’ pernah mengaplikasikan sholat dalam hidupnya, yah.. ga berjalan lah. Tentang shaum sunnah, tapi ga pernah shaum sunnah, yah percuma aja. Kalau begitu tuh… kita dicap jadi orang yang fasiq. Na’udzubillah…. Peran orang tua sangat berpengaruh di pendidikan agama ini, hal yang harus diperhatikan adalah si orang tua juga harus memulainya terlebih dahulu, ini sangat krusial. Anak tidak akan mau belajar ngaji, kalau orang tuanya belum belajar atau bisa ngaji, anak tidak akan mau sholat, kalau orang tuanya ga’ pernah kelihatan sholat. Umumnya anak-anak kecil hingga SMP, akan merasakan hal tersebut. Kalau dah SMA biasanya mereka akan mencari sendiri, yah… kalau kepentok dengan temen yang ngajak baik, sering ngajak sholat, ngaji, maka dipun insy Allah menjadi orang baik dari segi agama, dan kebutuhan pendidikan agama, telah minimal ia dapatkan. Nah… kalau kepentok dengan temen yang sering ngajak minum, judi, main game terus, nyolong, dll, maka kemungkinan anak itu akan menjadi seperti temannya. Oleh karena itu, saya tegaskan sekali lagi, orang tua kudu persiapin pendidikan agama, dan menjadi tauladan bagi anak-anaknya.
Yah.. mungkin itu aja… sebenarnya banyak sih… tapi mau ngerjain TA (tugas akhir) dulu…maklumlah dah mau lulus. Semoga kita menjadi insan yang baik dalam setiap harinya, tiada kejenuhan untuk menuju kemuliaan disisi Allah, dengan predikat syuhada dihadapan-Nya.
Ma’annajah Saudaraku…
Bandung, 15 & 16 Oktober 2008
Aldo Al Fakhr
Blogger Pencari Spirit yang Hilang